Jakarta, CNN Indonesia -- Difteri, penyakit menular akibat kuman Corynebacterium Diptheriae kembali mewabah. Hingga November 2017, 11 provinsi melaporkan kejadian luar biasa difteri dan 32 kasus di antaranya meninggal dunia.
Wabah ini terus meningkat jumlahnya hingga ratusan kasus di berbagai daerah. Apa dan sejauh mana bahaya wabah difteri, berikut sepuluh hal seputar penyakit tersebut yang patut diketahui:
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sampai November 2017, ada 95 Kab/kota dari 20 provinsi melaporkan kasus Difteri. Sementara pada kurun waktu Oktober-November 2017, Kemenkes mencatat ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) difteri di wilayah kabupaten/kotanya.
Kesebelas provinsi itu, yakni Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur. Jawa Timur disebutkan menempati provinsi paling banyak kasus difteri, diikuti DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Dokter Soedjatmiko, Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan diafteri adalah penyakit menular akibat bakteri Corynebacterium Diptheriae yang mudah sekali menular melalui batuk atau bersin.
Ini karena bakteri tersebut paling banyak bersarang di tenggorokan dan hidung sehingga membentuk selaput putih dan tebal yang lama-lama menutupi saluran nafas," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, pada Kamis (7/12).
Di samping itu, bakteri tersebut juga bisa mengeluarkan racun atau toksin yang bisa melumpuhkan otot jantung, dan saraf. Itu yang kemudian menjadi sebab kematian. Difteri bisa menyerang bayi, anak-anak, dan paling banyak balita dan usia sekolah, serta remaja.
Sebagian besar atau hampir dua pertiga yang terkena difteri karena belum pernah diimunisasi sama sekali, atau belum pernah diimunisasi DPT. Ini tak lain karena imunisasi di luar itu tak bisa cegah difteri.
"Sering orangtua kalau ditanya, sudah diimunisasi walaupun tidak bisa menunjukkan itu imunisasi difteri. Mereka kerap membela diri sudah imunisasi lengkap, di sisi lain, ternyata itu imunisasi polio, atau campak, dan DPT satu kali," ujar Soedjatmiko.
Jadi, ada kelompok pertama, orang yang tidak pernah diimunisasi sama sekali, ada juga yang diimunisasi tapi tidak lengkap.
Soedjatmiko mengatakan, idealnya adalah sampai umur 1 tahun DPT tiga kali, sampai umur 2 tahun 4 kali DPT, sampai umur 5 tahun kalau bisa 5 kali DPT. Sampai umur 6 tahun 6 kali DPT, sampai umur 7 tahun 7 kali DPT, sampai tamat SD kalau bisa sudah 8 kali DPT. Untuk umur di atas 7 tahun, nama vaksinnya bukan DPT, tapi Td, beda vaksin tapi yang penting ada komponen D-nya.
Gejala yang kentara bagi penderita difteri adalah jika mendapati ada selaput putih tebal di tenggorokan atau di hidung, apalagi disertai leher bengkak. Bisa jadi itu difteri, dan walaupun belum tentu, akan lebih baik diperiksa dulu untuk dibuktikan. Jika mendapati gejala itu, ada baiknya segera bawa ke puskesmas, atau RS terdekat.
Jika kemudian didiagnosa difteri, maka seseorang mesti dirawat inap, lalu diberi antibiotik. Yang bahaya kalau kuman tersebut mengeluarkan racun atau toksin yang merusak fungsi jantung dan saraf. Yang terkena difteri harus diisolasi selama dua minggu, dan semua yang di sekitarnya baik itu ibu, nenek, kakak, kerabat lainnya patut diperiksa juga. Bahkan, Soedjatmiko menambahkan, sebenarnya yang perlu diprioritas imunisasi adalah mereka yang kontak dengan pasien, apakah anggota keluarga, teman sekolah, atau tetangga. Imunisasi untuk cegah difteri ini mesti diulang setiap 10 tahun.
Rentang waktu setelah kena diagnosa hingga meninggal dunia beragam. Ada yang 5 hari, ada juga yang satu minggu tergantung derajat keparahan. Semua yang meninggal rata-rata yang tidak diimunisasi atau imunisasi tak lengkap. Faktor lainnya, adalah terlambat dibawa ke RS, otak kurang oksigen meninggal atau kuman mengeluarkan racun sehingga menganggu fungsi jantung.
Oleh karenanya, kata dia, semakin cepat ditangani semakin besar kemungkinan selamat. Begitu diketahui selaput putih-putih di tenggorokan, dan di hidung dibawa ke RS diobati cara benar, umumnya selamat. Kalau terlambat umumnya meninggal atau terpaksa dibolongi lehernya untuk bisa bernafas.
Pemerintah melaksanakan ORI atau imunisasi penanganan kejadian luar biasa pada daerah yang terkena kasus difteri. Pekan depan, tiga provinsi yang ditengarai kasus difteri paling banyak, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten menjalani program ini secara berkala, pada 11 Desember 2017, 11 Januari dan 11 Juli 2018. Jawa Timur yang juga tinggi kasus difterinya sudah lebih dulu melaksanakan ORI.
Wabah difteri pernah terjadi juga pada 2009. Namun, kini wabah tersebut lebih meluas hingga dilaporkan di 20 provinsi. Menurut Soedjatmiko, kemungkinan terjadinya wabah difteri akan terus ada jika masih banyak anak yang tak diimunisasi, dan atau diimunisasi tapi tak lengkap.
Direktur Surveilans dan Karantina Kementerian Kesehatan, Jane Soepardi mengatakan ada penurunan minat orangtua melakukan imunisasi pada anaknya dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun terakhir. Pengaruh media sosial juga dinilainya cukup besar sehingga ketika ada yang anti-vaksin, yang lainnya ikut-ikutan. Menurunnya minat akan imunisasi ini turut menjadi faktor penyebab merebaknya wabah difteri di berbagai provinsi. (rah/rah)
Sumber https://www.cnnindonesia.com